Subuh itu saya sudah berada di Rantepao,
setelah 9 jam perjalanan naik bis dari Makassar. matahari pagi belum
menyinari ibukota kabupaten Tana Toraja Utara, roti Maros yang saya beli
semalam—saat bis berhenti di jalan raya Maros, lumayan untuk mengisi
perut, sembari menunggu geliat aktivitas di daerah pusat wisatawan yang
datang untuk mengagumi keunikan Land of Toraja.
Wisma Maria I akan menjadi tempat istirahat saya selama di Toraja. Setelah chek in
dan istirahat sebentar, saya mulai keliling sekitar Rantepao. Sebelum
pagi beranjak, saya memutuskan untuk ke pasar tradisional, tidak jauh
dari penginapan saya, berada di samping sungai, sebelum jembatan.
Pasar tradisional menjadi ‘tempat wajib
datang’ saat saya berkunjung ke daerah tertentu—selama ada waktu santai
di pagi hari. Di pasar itulah saya dapat mengamati ‘keaslian’ dari suatu
daerah, terlihat aktivitas penduduk, makanan lokal, dan bahasa
sehari-hari. Kopi toraja menjadi oleh-oleh yang saya beli dari pasar
tersebut.
Setelah berkeliling melihat souvenir khas
Toraja—yang banyak berjejer di jalan A. Yani dan jalan Mapanyuki, saya
berhenti di Alun-alun, memesan semangkok mie ayam. Mengobrol dengan
tukang mie ayam—yang ternyata orang Wonogiri, Jawa Tengah. Sekedar
mengorek informasi dari penduduk yang sudah lama tinggal disini, setelah
itu saya balik ke penginapan, istirahat.
Sore itu saya memesan kopi di lobby
penginapan, kopi toraja yang nikmat, juga murah. Tanya-tanya ke petugas
resepsionis informasi seputar tujuan wisata di Toraja, kegiatan apa
yang menarik untuk dilakukan disini dan informasi lain yang saya
perlukan untuk lebih mengenal Tana Toraja.
Malam pun datang, udara dingin menyebar,
memaksa saya memakai jaket saat keluar penginapan. Menuju pusat
keramaian, sekedar ingin melihat ‘kehidupan malam’ para penduduk
setempatl saat ‘musim sepi turis’ seperti sekarang ini. Saya pun ikut
mencoba Seraba (semacam STMJ) sambil menikmati malam.
Pagi itu bang Edi—guide saya, menyusul di penginapan saat saya sedang menikmati sarapan. Setelah mengatur itinerary untuk menyesuaikan waktu dengan style saya yang ‘nyantai’, akhirnya tujuan hari itu ke : Ke’te Kesu; Lemo; Londa; Makale; Kambira; Sa’dan; Pallawa; Batu Tumonga; Lo’ko Mata dan Bori.
Ke’te Kesu
Menuju ke selatan, Ke’te kesu adalah
tempat pertama yang kami singgahi. Dari semua objek wisata di Tana
Toraja, menurut saya Ke’te Kesu adalah miniatur dari Tana Toraja itu
sendiri. Rumah adat Tongkonan dengan Alang—lumbung padi, berhadapan
menjadi icon dari tempat wisata ini. Bagian belakang Tongkonan ada tebing tempat menaruh mayat orang yang sudah meninggal.
Lemo
Lebih selatan lagi, kita akan sampai ke Lemo (cliff grave).
Tebing vertikal tempat menyimpan mayat, dengan Tao-tao—miniatur dari
jasad orang yang meninggal, tampak berbaris di atas tebing.
Londa
‘Kuburan’ ini berada di dalam gua,
walaupun banyak juga mayat—yang sudah berupa kerangka, dan juga Tao-tao
di dinding tebing pintu masuk gua. Suasana menegangkan memasuki gua
gelap yang penuh dengan tengkorak manuasia, dengan ditemani pemandu yang
membawa lampu petromak.
Karena saya terlalu nyantai menikmati
keunikan ‘kuburan’ khas Tana Toraja, terpaksa untuk Makale (ibukota Tana
Toraja) dan Kambira (baby grave)—pohon tempat menyimpan mayat
bayi yang baru lahir, saya lewatkan. Mengejar waktu untuk menikmati
makan siang di Batu Tumonga, setelah Londa kita langsung menuju ke
utara.
Sa’dan
Sebelah utara Rantepao, sentra pengrajin
tenun kain toraja. Kalau beruntung bisa melihat nenek-nenek yang lagi
menenun. Apes buat saya, suasana sepi saat itu, beginilah resiko traveling waktu hari kerja.
Pallawa
Deretan rumah adat Tongkonan yang lebih
banyak dari Ke’te Kesu, lebih tua juga usia kampung ini. Selain tidak
terdapat ‘kuburan’, kebersihan yang tidak terjaga membuat kampung ini
kalah populer dibanding Ke’te Kesu.
Batu Tumonga
Menurut saya, tempat inilah yang menjadi
‘primadona’ selama perjalanan saya di Tana Toraja. Pemandangan yang
memanjakan mata, membuat perjalanan selama 1 jam tidak berasa.
Berhentilah sejenak di Tinimbayo Coffe Shop, deretan sawah yang berada
di bawah ‘warung kopi’ itu sangat indah. Rumah Makan Batu Tumonga
menjadi tempat yang sempurna untuk beristirahat sambil menikmati makan
siang.
Saat makanan terhidang, hujan turun,
lumayan lama. Di samping meja ada sepasang turis dari Inggris. Melihat
saya membawa buku Lonely Planet, mereka menyangka saya juga turis asing.
Kita pun ngobrol sambil menunggu hujan reda.
Karena waktu sudah sore, Lo’ko Mata terpaksa saya skip. Perjalanan dilanjutkan menuju tujuan terakhir.
Bori
Situs megalith menyambut di
pintu masuk, batu-batu tegak berdiri, tempat ‘pesta kematian’. Agak ke
dalam, banyak batu-batu besar yang telah diukir/dilubangi tempat
menyimpan mayat/jenasah. Terdapat pohon di belakang ‘kuburan’ ini. Pohon
itu dilubangi untuk menyimpan mayat bayi yang baru lahir—seperti yang
ada di Kambira, kemudian lubang itu ditutup lagi dengan semacam jerami.
Sepanjang perjalanan balik ke penginapan, saya masih terkagum-kagum dengan keunikan dan keindahan alam dan budaya Tana Toraja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar