Kamis, 03 Desember 2015

Sulawesi Selatan : Keindahan dalam Mistisme Alam Tana Toraja

tengkorak di depan gua, londa
tengkorak di depan gua, londa
Subuh itu saya sudah berada di Rantepao, setelah 9 jam perjalanan naik bis dari Makassar. matahari pagi belum menyinari ibukota kabupaten Tana Toraja Utara, roti Maros yang saya beli semalam—saat bis berhenti di jalan raya Maros, lumayan untuk mengisi perut, sembari menunggu geliat aktivitas di daerah pusat wisatawan yang datang untuk mengagumi keunikan Land of Toraja.
Wisma Maria I akan menjadi tempat istirahat saya selama di Toraja. Setelah chek in dan istirahat sebentar, saya mulai keliling sekitar Rantepao. Sebelum pagi beranjak, saya memutuskan untuk ke pasar tradisional, tidak jauh dari penginapan saya, berada di samping sungai, sebelum jembatan.
Pasar tradisional menjadi ‘tempat wajib datang’ saat saya berkunjung ke daerah tertentu—selama ada waktu santai di pagi hari. Di pasar itulah saya dapat mengamati ‘keaslian’ dari suatu daerah, terlihat aktivitas penduduk, makanan lokal, dan bahasa sehari-hari. Kopi toraja menjadi oleh-oleh yang saya beli dari pasar tersebut.
Setelah berkeliling melihat souvenir khas Toraja—yang banyak berjejer di jalan A. Yani dan jalan Mapanyuki, saya berhenti di Alun-alun, memesan semangkok mie ayam. Mengobrol dengan tukang mie ayam—yang ternyata orang Wonogiri, Jawa Tengah. Sekedar mengorek informasi dari penduduk yang sudah lama tinggal disini, setelah itu saya balik ke penginapan, istirahat.
Sore itu saya memesan kopi di lobby penginapan, kopi toraja yang nikmat, juga murah. Tanya-tanya ke petugas resepsionis informasi seputar tujuan wisata di Toraja, kegiatan apa yang menarik untuk dilakukan disini dan informasi lain yang saya perlukan untuk lebih mengenal Tana Toraja.
Malam pun datang, udara dingin menyebar, memaksa saya memakai jaket saat keluar penginapan. Menuju pusat keramaian, sekedar ingin melihat ‘kehidupan malam’ para penduduk setempatl saat ‘musim sepi turis’ seperti sekarang ini. Saya pun ikut mencoba Seraba (semacam STMJ) sambil menikmati malam.
Pagi itu bang Edi—guide saya, menyusul di penginapan saat saya sedang menikmati sarapan. Setelah mengatur itinerary untuk menyesuaikan waktu dengan style saya yang ‘nyantai’, akhirnya tujuan hari itu ke : Ke’te Kesu; Lemo; Londa; Makale; Kambira; Sa’dan; Pallawa; Batu Tumonga; Lo’ko Mata dan Bori.
Ke’te Kesu
Menuju ke selatan, Ke’te kesu adalah tempat pertama yang kami singgahi. Dari semua objek wisata di Tana Toraja, menurut saya Ke’te Kesu adalah miniatur dari Tana Toraja itu sendiri. Rumah adat Tongkonan dengan Alang—lumbung padi, berhadapan menjadi icon dari tempat wisata ini. Bagian belakang Tongkonan ada tebing tempat menaruh mayat orang yang sudah meninggal.
tongkonan dan alang di ke'te kesu
tongkonan dan alang, ke’te kesu
kuburan di tebing ke'te kesu
kuburan di tebing, ke’te kesu
peti mati berbentuk kerbau di ke'te kesu
peti mati berbentuk kerbau, ke’te kesu
tengkorak di 'kuburan' ke'te kesu
tengkorak di ‘kuburan’, ke’te kesu
tao-tao di ke'te kesu
tao-tao di ke’te kesu
Lemo
Lebih selatan lagi, kita akan sampai ke Lemo (cliff grave). Tebing vertikal tempat menyimpan mayat, dengan Tao-tao—miniatur dari jasad orang yang meninggal, tampak berbaris di atas tebing.
'kuburan tebing' lemo
‘kuburan tebing’, lemo
tao-tao di lemo
tao-tao, lemo
tao-tao di toko souvenir lemo
tao-tao di toko souvenir, lemo
lubang di tebing batu tempat mayat di lemo
lubang di tebing batu tempat mayat, lemo
Londa
‘Kuburan’ ini berada di dalam gua, walaupun banyak juga mayat—yang sudah berupa kerangka, dan juga Tao-tao di dinding tebing pintu masuk gua. Suasana menegangkan memasuki gua gelap yang penuh dengan tengkorak manuasia, dengan ditemani pemandu yang membawa lampu petromak.
tao-tao di depan gua londa
tao-tao di depan gua londa
tengkorak di dalam gua londa
tengkorak di dalam gua londa
tengkorak di celah stalagtit di londa
tengkorak di celah stalagtit di londa
Karena saya terlalu nyantai menikmati keunikan ‘kuburan’ khas Tana Toraja, terpaksa untuk Makale (ibukota Tana Toraja) dan Kambira (baby grave)—pohon tempat menyimpan mayat bayi yang baru lahir, saya lewatkan. Mengejar waktu untuk menikmati makan siang di Batu Tumonga, setelah Londa kita langsung menuju ke utara.
Sa’dan
Sebelah utara Rantepao, sentra pengrajin tenun kain toraja. Kalau beruntung bisa melihat nenek-nenek yang lagi menenun. Apes buat saya, suasana sepi saat itu, beginilah resiko traveling waktu hari kerja.
kerajinan tenun toraja di sa'dan
kerajinan tenun toraja, sa’dan
anak pengrajin tenun toraja
anak pengrajin tenun toraja, sa’dan
Pallawa
Deretan rumah adat Tongkonan yang lebih banyak dari Ke’te Kesu, lebih tua juga usia kampung ini. Selain tidak terdapat ‘kuburan’, kebersihan yang tidak terjaga membuat kampung ini kalah populer dibanding Ke’te Kesu.
tongkonan di pallawa
tongkonan dan alang, pallawa
hiasan tanduk kerbau di tongkonan
hiasan tanduk kerbau di tongkonan, pallawa
pakaian adat
pakaian adat, pallawa
Batu Tumonga
Menurut saya, tempat inilah yang menjadi ‘primadona’ selama perjalanan saya di Tana Toraja. Pemandangan yang memanjakan mata, membuat perjalanan selama 1 jam tidak berasa. Berhentilah sejenak di Tinimbayo Coffe Shop, deretan sawah yang berada di bawah ‘warung kopi’ itu sangat indah. Rumah Makan Batu Tumonga menjadi tempat yang sempurna untuk beristirahat sambil menikmati makan siang.
pemandangan dari tinimbayo
pemandangan dari tinimbayo, batu tumonga
persawahan di bawah tinimbayo
persawahan di bawah tinimbayo, batu tumonga
rumah makan batu tumonga
rumah makan batu tumonga
pemandangan dari batu tumonga
view dari rumah makan batu tumonga
Saat makanan terhidang, hujan turun, lumayan lama. Di samping meja ada sepasang turis dari Inggris. Melihat saya membawa buku Lonely Planet, mereka menyangka saya juga turis asing. Kita pun ngobrol sambil menunggu hujan reda.
Karena waktu sudah sore, Lo’ko Mata terpaksa saya skip. Perjalanan dilanjutkan menuju tujuan terakhir.
Bori
Situs megalith menyambut di pintu masuk, batu-batu tegak berdiri, tempat ‘pesta kematian’. Agak ke dalam, banyak batu-batu besar yang telah diukir/dilubangi tempat menyimpan mayat/jenasah. Terdapat pohon di belakang ‘kuburan’ ini. Pohon itu dilubangi untuk menyimpan mayat bayi yang baru lahir—seperti yang ada di Kambira, kemudian lubang itu ditutup lagi dengan semacam jerami.
megalith di bori
megalith, bori
batu tempat menyimpan mayat di bori
batu tempat menyimpan mayat, bori
pohon tempat menyimpan mayat bayi yang baru lahir
pohon tempat menyimpan mayat bayi yang baru lahir, bori
Sepanjang perjalanan balik ke penginapan, saya masih terkagum-kagum dengan keunikan dan keindahan alam dan budaya Tana Toraja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar